Sabtu, 13 Agustus 2011

Dia yang Ku Tunggu

Dingin? Hanya perasaanku saja. Malam semakin larut di bandara. Pesawat Ridho tak kunjung tiba. Dimanakah dia sekarang ya tuhan? Aku membutuhkan pelukannya yang mungkin bisa membuat badanku lebih hangat. HandPhone ku menunjukkan angka 23:06. Angka yang tak sewajarnya untuk wanita di luar rumah. Tapi tak apalah, toh ini kulakukan juga demi dia.

23:30, terlihat sebuah pesawat turun dengan perlahan tapi pasti. Akhirnya, hatiku bergumam. Ridho, pacarku yang telah lama kuliah di luar negeri yang mendapatkan beasiswa itu akhirnya kembali. Hampir genap 4 tahun aku di tinggalnya. Masih teringat jelas ketika kami bertemu di sebuah toko sepatu yang tak jauh dari rumah. Ketika aku memilih sepatu untuk persiapan kuliah dulu, tampak wajah Ridho yang lebih kurang putih dan lesung pipinya yang menggoda hatiku untuk berdebar kencang.

Awalnya tak sengaja mendapat ide untuk memilih sepatu di dekatnya, tapi aku tak punya pilihan ide bagus selain ide bodoh itu. Akhirnya dengan rada gugup ku beranikan mendekatinya. Ku pilih satu sepatu yang menarik lalu ku jatuhkan di dekatnya. “Maaf, tak sengaja” Kataku padanya. Tersimpul senyum kecilku padanya. “Tak apa” Ridho membalas ketus. Dalam hati, “ini cowok jutek amat ya”. Mungkin dengan sedikit usaha lagi aku mendapatkannya dalam khayalku.

Ridho menuju kasir. Terburu-buru ku ambil satu sepatu sport yang tak cocok untuk kuliah. “Atlet ya mbak?” di kasir Ridho bertanya. “Ah, enggak mas cuman hobi aja. Maaf, mas siapa namanya ya? Boleh tau ga? Hehe” jawabku sok centil. “Muhammad Ridho mbak”(membalas senyum) sambil keluar pintu toko. Ku tarik secarik uang lalu membayarkan sepatu dan kemudian bergegas mengejar Ridho.

“Mas, boleh minta No.HandPhone nya ga? Aku Vany”salamku. Boleh, ini. Sambil member No.HandPhone nya. “Makasih ya mas”. “Sama-sama Van”. Hatiku serasa meledak-ledak bergembira saat itu. Seperti saat ini, pada saat aku menunggunya kembali. Akhirnya, senyum lesung pipi yang selalu ku rindukan menyapa. Tanpa basa-basi langsung aku mendekatinya.

Dengan wajah jutek aku berkata,”Lama amat sih pesawatnya. Bete nih nungguinnya”. “Ya maaf sayang, tadi ada delay lagi. Jangan jutek gitu dong mukanya. Nanti manisnya luntur loh”. Dengan wajah masih jutek aku berkata lagi. “Huh, mana banyak nyamuk lagi di sini. Malam udah larut ni, pulang yuk”. “Kok jadi jutek gitu sih kamu sayang? Ga seneng aku pulang ya?” Ridho jawab. “Bukan gitu, tapi lama tau. Coba kamu pilih pesawat yang lebih mahal sedikit, pasti enggak ada delay kan”. Sambarku jutek.

“Yank, kamu kan tau aku dari keluarga yang gimana, jangan gara-gara duit/pesawat yang lama kamu jadi jutek dong. Aku kangen berat loh sama kamu, tapi kamunya kok jadi gini? Mana Vany yang dulu selalu nyemangatin Ridho buat terus semangat dalam hidup. Mana Vany yang dulu ada di saat Ridho kesusahan. Mana Vany yang sabar dulu?” Tampaknya Ridho sedikit marah dengan jutekku.

“Ya, ga gitu juga. Yawda deh masih mau di sini atau anterin Vany pulang ni?” jawabku lagi ketus. Dengan tampang kesal Ridho memanggil taksi untuk mengantarku pulang. “Kamu mau pulang sendiri apa sama Ridho ni?”. “Marah ya dho?” kataku lagi. “Enggak kok”. “Ya jelas Vany pulang sama Ridho dong.”

Membukakan pintu taksi Ridho menuntunku masuk ke dalam taksi. “Ke Villa Mas ya pak”. Ridho berkata, setelah itu membisu seribu bahasa. “Uh, bodohnya aku. Ada apa sama kelakuanku ya?”. Jeritku dalam hati. Akibat tindakan bodohku, Ridho tak menghiraukan ku sekarang. Lesung pipinya tampak sombong tanpa melihatku sekarang.

01.23 tepat depan rumahku, Ridho membukakan pintu taksi kembali sembari berkata “Langsung istirahat ya sayang, jangan mikirin apa-apa lagi”. Ridho mengeluarkan senyum mautnya kepadaku kembali. Ah, senangnya melihat senyum itu lagi. “Ya, kamu juga ya”. Ku kecup kecil dahinya. Lambaian tangan ku mengakhiri peristiwa malam itu.

Ada pesan singkat masuk. Aku terbangun karena getaran ponsel di bawah bantal. Dengan mata yang sayup-sayup ku baca pesan singkat itu. Mama Ridho, kontak yang mengirim pesan tersebut. Tanda Tanya besar di hatiku, ada angina pa Mamanya Ridho mengirim pesan singkat kepadaku.

Ku buka pesan singkat tersebut. “Innalillahi Wa Inalillah Roji’un. Vany, telah berpulang Muhammad Ridho, akibat kecelakaan antara taksi dengan truk pengangkut minyak di jalan dia pulang”. Pesan yang sangat sangat singkat di pagi hari ini membuat ku tersentak super kaget. APA? Aku menjerit sembari menangis. Ridho telah tiada dalam hatiku.

Seperti kilat menyambar, kabar ini benar-benar membuatku shock. Aku menangis sejadi-jadinya. Ku coba menelfonnya, tapi nihil. Ponselnya tidak aktif. Ridho, yang baru saja kembali kemarin setelah 4 tahun pergi. Dan sekarang ia pergi untuk selama-lamanya. Masih terbayang jelas wajah yang mengecup keningku di bandara ketika ia akan pertama kali pergi. Ridho, Ridho, Ridho. Aku terus memanggil namanya.

Tanpa basa-basi lagi, ku hapus air mata sembari mengganti pakaian. Aku segera kerumahnya dengan menggunakan angkutan umum. Sesampai di rumahnya, terlihat senyum nakal dari balik kain tipis yang membalur tubuh Ridho . Ia benar-benar sudah tiada. Kembali aku menitikkan air mata. Hari yang takkan ku lupakan. Mengantar Ridho hingga ke peristirahatan terakhirnya. Mungkin itu yang bisa kulakukan untuk Ridho yang telah bersabar untuk menemuiku selama 4 tahun ini. Ridho yang selalu sabar menghadapi kejutekanku. “Ridho, maafin Vany ya. Vany selalu salah buat Ridho. Vany selalu jutek&cerewet sama Ridho sekarang. Vany ga tau sekarang harus gimana untuk berjumpa sama Ridho lagi.

Mungkin di suatu saat nanti Vany juga akan nyusul ridho dengan senyum centil dari Vany. Makasih juga buat Cinta dan Sayang Ridho selama ini buat Vany. Ya tuhan, tempatkan ia di tempat yang terbaik di sisimu. Terselip doa di setiap sholatku untuknya. Ridho, jangan lelah menantiku disana ya SAYANG.

Cintailah ia sepenuh hati, karena dengan cinta batas waktu akan tiada berarti. Kata menunggu bisa terobati dengan senyum kecil yang menyapa ketika kembali berjumpa.

~Sekian~

2 komentar: