
Semenjak di tinggal pergi ayahku untuk selamanya, aku, ibuku beserta ke-enam adik ku haru s bekerja keras untuk bisa menyambung hidup setiap harinya. Di hari tuanya, Ibuku mau tidak mau harus menjadi buruh cuci ke tetangga-tetangga dekat rumah kami. Sedih memang melihat Ibuku yang sudah renta harus bekerja lagi untuk anak-anaknya. Tapi begitulah hidup, harus tetap di jalani dengan kepala tegak.
Sebagai anak tertua, aku mempunyai tanggung jawab besar terhadap makan, pendidikan dan segala keperluan adik-adik ku. Di usia ku yang belum genap 20 tahun, aku sudah mulai coba-coba untuk membantu per-ekonomian keluarga ku dengan menjadi buruh di pasar dekat rumah kami.
Ketika menjadi buruh di pasar, pekerjaan itu tidak lah mudah untuk ku jalani. Terik panas, berat pekerjaan, bau pasar dan peluh yang membanjir menjadi musuhku. Tapi tak apa, toh ini buat menyambung hidup keluarga ku. Semoga ayah melihat ku dengan senyum bangga di manapun dia berada sekarang. Tiga bulan menjadi buruh pasar, tak sanggup kurasa. Beratnya menjadi buruh ku akhiri bulan ini.
Tepat satu minggu setelah aku berhenti bekerja menjadi buruh pasar, teman ku SMA ku Ina menawarkan pekerjaan sebagai TKW di negeri Jiran. Pekerjaan ini tak langsung ku terima. Banyak yang harus ku pertimbangkan. Salah satunya adalah harus meninggalkan keluarga ku tercinta. Di negeri orang, se-orang diri tanpa ada kasih sayang yang meliputi itu menjadi pilihan yang sangat berat yang mau tak mau harus ku pilih.
Tepat sebulan sebelum keberangkatan ku ke negeri orang, Ibu banyak memberi ku nasihat. Hidup di negeri orang tidak lah mudah, bahkan bisa di bilang kehidupan di sana lebih keras dari pada di sini tempat keluarga berada. Apalagi ini pengalaman pertama ku mendapatkan predikat sebagai TKW.
Waktu satu bulan pun tiba, semua sudah ku persiapkan dengan baik terkecuali mental dan perasaan ku. Tak sanggup melihat tangis ibu dan ke-enam adik yang akan ku tinggalkan untuk waktu yang aku sendiri juga tidak tahu kapan batasnya.
9.00 waktunya diriku berangkat untuk mencari nafkah buat orang-orang yang ku cintai. Senyum yang di paksakan, tampak dari wajah ibu. Selamat tinggal ibu, tak tahu kapan akan bisa melihat senyum mu lagi. Jaga adik baik-baik ya bu, nanti upah bulanan ku akan selalu ku kirimkan buat kalian. Aku pergi ya bu, mungkin itu kata terakhir ku buat mereka.
Tepat tengah hari, aku sampai di perantauan. Sebuah negara asing bagiku untuk menapakkan kaki. Ternyata diriku sudah di tunggu oleh wakil dari perusahaan yang mengirim ku ke negara ini. Penyerahan kepada majikan telah di lakukan. Aku langsung di bawa ke rumah baru ku, tepatnya dimana aku akan bekerja.
“Clara, panggil saya nyonya Clara. Awak dah ngerti?”. Begitulah perkenalan majikan ku secara singkat padat dan jelas. Tak ada basa-basi sedikit pun. Yang ku tahu sampai sekarang, non Clara tak mempunyai kekasih karena kegalakannya kepada lawan jenis.
Non Clara juga anak dari pengusaha ternama di Negeri Jiran ini. Kalau bisa dibilang, wajahnya tak terlalu cantik juga tak terlalu jelek. Mungkin karena dia keturunan etnis Mandarin yang membuat dirinya terlihat lebih putih.
Seminggu berlalu, watak dan sifat non Clara sudah mulai kelihatan dan aku bisa membacanya. Hidupnya tak ada aturan, memerintah sesukanya. Sekalipun aku masih sibuk dengan suatu urusan dia tak perduli, yang penting harus mendahulukan keperluannya terlebih dulu.
Pernah suatu waktu, selagi aku sibuk memasak di dapur ternyata non Clara memanggil. Aku tak mendengar teriakannya, suara dapur menjadi penghalang tentunya. Ketika aku menghadap, langsung saja aku mendapat hadiah. Sebuah pukulan gagang sapu menyabet punggung ku. Tegas dan langsung memahariku, begitulah non Clara.
Ingin rasanya menyudahi saja pekerjaan ini. Tapi sebulan saja belum, dan Ibu juga belum merasakan hasil keringat ku disini. Sabar Lastri, tabah lah sedikit. Ku elus dada ku untuk sedikit menenangkan hati, hampir setiap hari kulakukan therapy itu. Dan sepertinya cara itu adalah cara yang paling ampuh untuk menahan segala amarah seharian yang sudah terkumpul.
Terlewat dari semua itu, akhirnya tanggal sudah berubah menjadi 31. Hari yang paling ku tunggu selama berada disini. Ya, hari ini adalah hari dimana aku mendapatkan gaji pertama ku. Begitu menerima amplop, langsung saja aku permisi pada non Clara untuk ke kantor pos dekat rumah. Mengirimkan semua hasil kerja ku, semoga bisa membantu Ibu dan adik-adikku yang berada jauh disana.
Selepas dari itu semua, di rumah non Clara ternyata ingin pergi keluar. Dan celakanya aku belum mempersiapkan sepatunya. Benar saja, ketika sampai di rumah lagi-lagi aku harus mendapatkan hadiah yang tak pantas untuk ku terima. Siraman air panas tepat mendarat di kaki kiriku. Sontak saja aku berteriak-teriak bahkan sampai mengeluarkan air mata.
“Maaf nyonya, maaf”. Hanya itu yang bisa ku katakan sambil menahan perih kulit kakiku yang mulai mengelupas. Setelah non Clara pergi, aku mencoba berjalan perlahan ke dalam kamar. Semoga dengan obat luka bakar yang ku oleskan sekarang dapat meredakan rasa perih yang kurasa sekarang.Ibu, aku ingin pulang. Lalu memeluk Ibu erat-erat, pikiran itu yang terlintas di otak ku sekarang.
Aku tahu resiko-resiko seperti ini lah yang akan aku hadapi. Sekali lagi ku buang jauh-jauh pikiran untuk pulang, dan bertahan disini. Gambaran Ibu dengan pekerjaannya yang berat disana membuat ku terisak tangis. Lagi-lagi teriakan non Clara membuat aku tersadar dari lamunan itu.
Setelah selesai membereskan semua pekerjaan ku, ini lah saat-saat yang ku tunggu. Istirahat, selamat malam dunia. Ku lantunkan doa sebelum tidur, mungkin aku bisa memimpikan keluarga ku malam ini. Hah, bahagia rasanya bila mengingat mereka.
“Bangun, bangun.... Dasar pembantu malas”. Baju ku basah kuyup, ku lihat non Clara membawa ember yang masih berisi air. Mau tidak mau, aku pun harus terbangun dari lelap ku. Menyiapkan sarapan si nyonya besar, lagi-lagi aku harus mengumpat dalam hati.
Kelihatannya minggu ini aku akan sedikit beristirahat panjang, non Clara akan pergi ke Kuala Lumpur untuk bertemu lelakinya. Tepatnya pacar barunya, tak habis pikir bagaimana caranya wanita sebengis dia bisa mendapatkan sesuatu yang di sebut pacar.
Waktu-waktu seperti ini lah yang aku butuhkan. Curi-curi kesempatan, aku langsung pergi ke telephone umum. Mendengar suara Ibu dan adik-adikku, air mata haru ku langsung tumpah dari kelopak mata yang menahannya sejak tadi. Aku bingung harus menjawab apa saat ibu bertanya, bagaimana kabar ku disini. Aku hanya bisa berkata, “aku baik-baik saja disini bu”. Sambil tersenyum kecil, menahan haru.
Kembali kerumah, aku langsung merebahkan tubuh ku yang bisa di bilang sudah remuk. Keesokan pagi, tak kusangka non Clara pulang lebih cepat. Tak berkata banyak, mungkin dia sudah kelelahan pada perjalanan kemarin. Mata sipitnya sudah tertutup rapat, begitu juga pintu kamarnya yang segera ku tutup agar ia tidak terganggu oleh suasana di luar.
Ketika akan melangkahkan kakiku ke dapur, tiba-tiba tersingkap gambaran ayah di balik pintu. Seolah ingin memelukku, ku hampiri gambaran sosok ayah. Dan tiba-tiba semua itu sirna, lagi-lagi lamunan ku sudah menerbangkan jiwa ku entah kemana. Sadar Lastri sadar, ayah sudah bahagia disana. Ayah, cuma rindu yang bisa ku perbuat untukmu sekarang.
Sreeenngggg, bunyi minyak panas bertemu dengan ikan segar di penggorengan. Memecah kesunyian di dapur. Lastri Lastri, sayup ku dengar suara itu. Sekali lagi terdengar Lastri Lastri, tapi kali ini lebih jelas terdengar. Non Clara pikirku, tanpa pikir panjang langsung ku tinggalkan dapur.
“Saya nak pergi, awak bersihken rumeh ye”. Non Clara berlalu keluar. Waktuku cuman 4 jam sampai non Clara kembali. Dia juga menyebutkan, rumah ini harus benar-benar bersih. Karena dia akan membawa calon mertuanya ke rumah ini nanti sore. Sebelum pergi juga non Clara memberi ku titipan. Ya, beberapa pukulan tepat di wajah dan hidungku.
Segera ku ambil pel dan langsung mengepel lantai. Ku ayunkan pel ke kanan dan ke kiri. Hampir selesai setengah pekerjaanku. Ku lihat pekerjaan ku yang sudah selesai tadi. Ternyata belum benar-benar bersih. Masih ada bercak noda disana.
Harus mulai dari awal, begitu lah pikirku. Ke kanan – ke kiri begitu yang terus kulakukan. Sudah setengah jalan pekerjaan ku. Ku lihat lagi ke belakang, bercak nodanya semakin banyak. Noda apa ini dalm benak ku. Merah? Darah? Darah siapa? Otakku terus bertanya-tanya.
Ku usap hidung ku yang mengeluarkan cairan. Terbekas di tangan ku noda yang sama dengan yang di lantai. Pandanganku mulai buram. Ku lihat jam besar yang berada di ruangan tamu rumah ini. Waktu ku hanya tinggal 1 jam ke depan. Semakin ku perhatikan lantai semakin pandangan ku menghitam.
Sekarang, yang ku pikirkan hanya semaksimal mungkin untuk membersihkan lantai ini. Jika tidak, ah entahlah. Wajah non Clara sudah mulai mengganti pandangan ku. Ke kanan – ke kiri, noda darah ku terus saja mengalir ke lantai. Usapan tangan ku tak mampu membendung darah yang telah ku keluarkan. Masih ada satu titik noda yang tersisa. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ku bersihkan dan.....
Tubuhku terjerembab, ku simpulkan senyum untuk non Clara. Tugas ku telah selesai. Semoga gaji ku kelak kau kirimkan kepada Ibu dan adik-adikku. Semua gelap..... Ayah, Ibu, Adik-adikku, mereka melambaikan tangan kepadaku.
Selesai
Lastri, sesosok gadis yang usianya belum genap 20 tahun asal Jawa Timur yang (terlanjur) menjadi seorang TKW di negeri jiran. Mulia, awalnya dia hanya ingin membahagiakan Ibu dan 6 adiknya dengan mengirimkan sebagian gajinya tiap bulan ke Indonesia.
Tapi kini dia yakin Ibunya pasti lebih bahagia, anaknya sudah duduk manis disebelah Tuhan, di surga. Satu yang pasti, Lastri takkan dendam kepada nyonya Clara yang menyiksanya dan Pemerintah Indonesia yang hanya bisa menjemput raganya di bandara tanpa nyawa....