Jumat, 11 November 2011

Lagu Lugu Lastri

Semenjak di tinggal pergi ayahku untuk selamanya, aku, ibuku beserta ke-enam adik ku haru s bekerja keras untuk bisa menyambung hidup setiap harinya. Di hari tuanya, Ibuku mau tidak mau harus menjadi buruh cuci ke tetangga-tetangga dekat rumah kami. Sedih memang melihat Ibuku yang sudah renta harus bekerja lagi untuk anak-anaknya. Tapi begitulah hidup, harus tetap di jalani dengan kepala tegak.

Sebagai anak tertua, aku mempunyai tanggung jawab besar terhadap makan, pendidikan dan segala keperluan adik-adik ku. Di usia ku yang belum genap 20 tahun, aku sudah mulai coba-coba untuk membantu per-ekonomian keluarga ku dengan menjadi buruh di pasar dekat rumah kami.

Ketika menjadi buruh di pasar, pekerjaan itu tidak lah mudah untuk ku jalani. Terik panas, berat pekerjaan, bau pasar dan peluh yang membanjir menjadi musuhku. Tapi tak apa, toh ini buat menyambung hidup keluarga ku. Semoga ayah melihat ku dengan senyum bangga di manapun dia berada sekarang. Tiga bulan menjadi buruh pasar, tak sanggup kurasa. Beratnya menjadi buruh ku akhiri bulan ini.

Tepat satu minggu setelah aku berhenti bekerja menjadi buruh pasar, teman ku SMA ku Ina menawarkan pekerjaan sebagai TKW di negeri Jiran. Pekerjaan ini tak langsung ku terima. Banyak yang harus ku pertimbangkan. Salah satunya adalah harus meninggalkan keluarga ku tercinta. Di negeri orang, se-orang diri tanpa ada kasih sayang yang meliputi itu menjadi pilihan yang sangat berat yang mau tak mau harus ku pilih.

Tepat sebulan sebelum keberangkatan ku ke negeri orang, Ibu banyak memberi ku nasihat. Hidup di negeri orang tidak lah mudah, bahkan bisa di bilang kehidupan di sana lebih keras dari pada di sini tempat keluarga berada. Apalagi ini pengalaman pertama ku mendapatkan predikat sebagai TKW.

Waktu satu bulan pun tiba, semua sudah ku persiapkan dengan baik terkecuali mental dan perasaan ku. Tak sanggup melihat tangis ibu dan ke-enam adik yang akan ku tinggalkan untuk waktu yang aku sendiri juga tidak tahu kapan batasnya.

9.00 waktunya diriku berangkat untuk mencari nafkah buat orang-orang yang ku cintai. Senyum yang di paksakan, tampak dari wajah ibu. Selamat tinggal ibu, tak tahu kapan akan bisa melihat senyum mu lagi. Jaga adik baik-baik ya bu, nanti upah bulanan ku akan selalu ku kirimkan buat kalian. Aku pergi ya bu, mungkin itu kata terakhir ku buat mereka.

Tepat tengah hari, aku sampai di perantauan. Sebuah negara asing bagiku untuk menapakkan kaki. Ternyata diriku sudah di tunggu oleh wakil dari perusahaan yang mengirim ku ke negara ini. Penyerahan kepada majikan telah di lakukan. Aku langsung di bawa ke rumah baru ku, tepatnya dimana aku akan bekerja.

“Clara, panggil saya nyonya Clara. Awak dah ngerti?”. Begitulah perkenalan majikan ku secara singkat padat dan jelas. Tak ada basa-basi sedikit pun. Yang ku tahu sampai sekarang, non Clara tak mempunyai kekasih karena kegalakannya kepada lawan jenis.

Non Clara juga anak dari pengusaha ternama di Negeri Jiran ini. Kalau bisa dibilang, wajahnya tak terlalu cantik juga tak terlalu jelek. Mungkin karena dia keturunan etnis Mandarin yang membuat dirinya terlihat lebih putih.

Seminggu berlalu, watak dan sifat non Clara sudah mulai kelihatan dan aku bisa membacanya. Hidupnya tak ada aturan, memerintah sesukanya. Sekalipun aku masih sibuk dengan suatu urusan dia tak perduli, yang penting harus mendahulukan keperluannya terlebih dulu.

Pernah suatu waktu, selagi aku sibuk memasak di dapur ternyata non Clara memanggil. Aku tak mendengar teriakannya, suara dapur menjadi penghalang tentunya. Ketika aku menghadap, langsung saja aku mendapat hadiah. Sebuah pukulan gagang sapu menyabet punggung ku. Tegas dan langsung memahariku, begitulah non Clara.

Ingin rasanya menyudahi saja pekerjaan ini. Tapi sebulan saja belum, dan Ibu juga belum merasakan hasil keringat ku disini. Sabar Lastri, tabah lah sedikit. Ku elus dada ku untuk sedikit menenangkan hati, hampir setiap hari kulakukan therapy itu. Dan sepertinya cara itu adalah cara yang paling ampuh untuk menahan segala amarah seharian yang sudah terkumpul.

Terlewat dari semua itu, akhirnya tanggal sudah berubah menjadi 31. Hari yang paling ku tunggu selama berada disini. Ya, hari ini adalah hari dimana aku mendapatkan gaji pertama ku. Begitu menerima amplop, langsung saja aku permisi pada non Clara untuk ke kantor pos dekat rumah. Mengirimkan semua hasil kerja ku, semoga bisa membantu Ibu dan adik-adikku yang berada jauh disana.

Selepas dari itu semua, di rumah non Clara ternyata ingin pergi keluar. Dan celakanya aku belum mempersiapkan sepatunya. Benar saja, ketika sampai di rumah lagi-lagi aku harus mendapatkan hadiah yang tak pantas untuk ku terima. Siraman air panas tepat mendarat di kaki kiriku. Sontak saja aku berteriak-teriak bahkan sampai mengeluarkan air mata.

“Maaf nyonya, maaf”. Hanya itu yang bisa ku katakan sambil menahan perih kulit kakiku yang mulai mengelupas. Setelah non Clara pergi, aku mencoba berjalan perlahan ke dalam kamar. Semoga dengan obat luka bakar yang ku oleskan sekarang dapat meredakan rasa perih yang kurasa sekarang.Ibu, aku ingin pulang. Lalu memeluk Ibu erat-erat, pikiran itu yang terlintas di otak ku sekarang.

Aku tahu resiko-resiko seperti ini lah yang akan aku hadapi. Sekali lagi ku buang jauh-jauh pikiran untuk pulang, dan bertahan disini. Gambaran Ibu dengan pekerjaannya yang berat disana membuat ku terisak tangis. Lagi-lagi teriakan non Clara membuat aku tersadar dari lamunan itu.

Setelah selesai membereskan semua pekerjaan ku, ini lah saat-saat yang ku tunggu. Istirahat, selamat malam dunia. Ku lantunkan doa sebelum tidur, mungkin aku bisa memimpikan keluarga ku malam ini. Hah, bahagia rasanya bila mengingat mereka.

“Bangun, bangun.... Dasar pembantu malas”. Baju ku basah kuyup, ku lihat non Clara membawa ember yang masih berisi air. Mau tidak mau, aku pun harus terbangun dari lelap ku. Menyiapkan sarapan si nyonya besar, lagi-lagi aku harus mengumpat dalam hati.

Kelihatannya minggu ini aku akan sedikit beristirahat panjang, non Clara akan pergi ke Kuala Lumpur untuk bertemu lelakinya. Tepatnya pacar barunya, tak habis pikir bagaimana caranya wanita sebengis dia bisa mendapatkan sesuatu yang di sebut pacar.

Waktu-waktu seperti ini lah yang aku butuhkan. Curi-curi kesempatan, aku langsung pergi ke telephone umum. Mendengar suara Ibu dan adik-adikku, air mata haru ku langsung tumpah dari kelopak mata yang menahannya sejak tadi. Aku bingung harus menjawab apa saat ibu bertanya, bagaimana kabar ku disini. Aku hanya bisa berkata, “aku baik-baik saja disini bu”. Sambil tersenyum kecil, menahan haru.

Kembali kerumah, aku langsung merebahkan tubuh ku yang bisa di bilang sudah remuk. Keesokan pagi, tak kusangka non Clara pulang lebih cepat. Tak berkata banyak, mungkin dia sudah kelelahan pada perjalanan kemarin. Mata sipitnya sudah tertutup rapat, begitu juga pintu kamarnya yang segera ku tutup agar ia tidak terganggu oleh suasana di luar.

Ketika akan melangkahkan kakiku ke dapur, tiba-tiba tersingkap gambaran ayah di balik pintu. Seolah ingin memelukku, ku hampiri gambaran sosok ayah. Dan tiba-tiba semua itu sirna, lagi-lagi lamunan ku sudah menerbangkan jiwa ku entah kemana. Sadar Lastri sadar, ayah sudah bahagia disana. Ayah, cuma rindu yang bisa ku perbuat untukmu sekarang.

Sreeenngggg, bunyi minyak panas bertemu dengan ikan segar di penggorengan. Memecah kesunyian di dapur. Lastri Lastri, sayup ku dengar suara itu. Sekali lagi terdengar Lastri Lastri, tapi kali ini lebih jelas terdengar. Non Clara pikirku, tanpa pikir panjang langsung ku tinggalkan dapur.

“Saya nak pergi, awak bersihken rumeh ye”. Non Clara berlalu keluar. Waktuku cuman 4 jam sampai non Clara kembali. Dia juga menyebutkan, rumah ini harus benar-benar bersih. Karena dia akan membawa calon mertuanya ke rumah ini nanti sore. Sebelum pergi juga non Clara memberi ku titipan. Ya, beberapa pukulan tepat di wajah dan hidungku.

Segera ku ambil pel dan langsung mengepel lantai. Ku ayunkan pel ke kanan dan ke kiri. Hampir selesai setengah pekerjaanku. Ku lihat pekerjaan ku yang sudah selesai tadi. Ternyata belum benar-benar bersih. Masih ada bercak noda disana.

Harus mulai dari awal, begitu lah pikirku. Ke kanan – ke kiri begitu yang terus kulakukan. Sudah setengah jalan pekerjaan ku. Ku lihat lagi ke belakang, bercak nodanya semakin banyak. Noda apa ini dalm benak ku. Merah? Darah? Darah siapa? Otakku terus bertanya-tanya.

Ku usap hidung ku yang mengeluarkan cairan. Terbekas di tangan ku noda yang sama dengan yang di lantai. Pandanganku mulai buram. Ku lihat jam besar yang berada di ruangan tamu rumah ini. Waktu ku hanya tinggal 1 jam ke depan. Semakin ku perhatikan lantai semakin pandangan ku menghitam.

Sekarang, yang ku pikirkan hanya semaksimal mungkin untuk membersihkan lantai ini. Jika tidak, ah entahlah. Wajah non Clara sudah mulai mengganti pandangan ku. Ke kanan – ke kiri, noda darah ku terus saja mengalir ke lantai. Usapan tangan ku tak mampu membendung darah yang telah ku keluarkan. Masih ada satu titik noda yang tersisa. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ku bersihkan dan.....

Tubuhku terjerembab, ku simpulkan senyum untuk non Clara. Tugas ku telah selesai. Semoga gaji ku kelak kau kirimkan kepada Ibu dan adik-adikku. Semua gelap..... Ayah, Ibu, Adik-adikku, mereka melambaikan tangan kepadaku.

Selesai

Lastri, sesosok gadis yang usianya belum genap 20 tahun asal Jawa Timur yang (terlanjur) menjadi seorang TKW di negeri jiran. Mulia, awalnya dia hanya ingin membahagiakan Ibu dan 6 adiknya dengan mengirimkan sebagian gajinya tiap bulan ke Indonesia.

Tapi kini dia yakin Ibunya pasti lebih bahagia, anaknya sudah duduk manis disebelah Tuhan, di surga. Satu yang pasti, Lastri takkan dendam kepada nyonya Clara yang menyiksanya dan Pemerintah Indonesia yang hanya bisa menjemput raganya di bandara tanpa nyawa....

Sabtu, 17 September 2011

Menggapai Hari

Cerita ini murni fiksi semata. Hanya mencoba menjabarkan melalui kata dan tulisan dari sebuah lagu yang di bawakan oleh “Avenged Sevenfold-Seize The Day”. Ketika kebutuhan menjadi beban, apapun akan di lakukan. Termasuk pengabaian kesungguhan dan keperdulian dari pasangan hidup kita.

Sebut saja namaku Dave. Hari-hariku bahagia ketika Kate datang dan menjadi bagian dari hidupku. Ya, hari-hariku penuh dengan kasih sayang dari istriku tercinta. Kehidupan kami seperti layaknya hidup pasangan muda lain. Bermodalkan cinta dan kami mendapatkan gelar suami-istri.

Tak lama setelah mendapatkan gelar itu, kebahagiaan ku kembali bertambah ketika hasil buah cinta ku sedang di kandung oleh Kate. Ah, hari-hariku bertambah bahagia dengannya. Tapi dari itu semua, ada satu masalah yang terus mengganggu fikiranku. Bertambahnya satu anggota keluarga itu artinya bertambah kebutuhan dalam keluarga kecil ku ini.

Tanpa keahlian sedikitpun di umur ku yang sangat muda ini, menyisihkan diriku dari pekerja-pekerja muda yang lebih bertalenta dariku. Kehidupan kota besar memang sangat keras. Tak ada satu pekerjaan pun yang tersisa untukku. Berat yang kurasa tak menyisihkan kebahagiaan ku dengan Kate.

Aku tak punya pilihan, mungkin dengan status “pencuri” keluarga ku bisa lebih bahagia. Setidaknya itu yang bisa kupikirkan saat ini. Sedikit berdiskusi dengan Kate, aku mendapat pertentangan. Tapi setidaknya itu adalah pekerjaan yang satu-satunya tersisa untukku di kota ini. Diskusi dengan Kate membuat ku berfikir dua kali untuk melakukan pekerjaan ini.

Mungkin berat untuk berkata tidak, tapi ini harus kulakukan. Sudah tiba saatnya, aku harus berpamitan dengan Kate. Dengan sangat tidak rela ia melepasku untuk bekerja pada hari itu. Dukungan teman-teman sepertinya terus membuatku berkata untuk terus maju.

Sesuai dengan rencana awal “kami”(sebutan untuk gerombolanku tepatnya). Tiga orang bertopeng masuk dari pintu depan. Itu yang terekam oleh kamera sisi dari supermarket incaran kami. Sedangkan dua orang lainnya menunggu di pintu belakang sambil menghidupkan mobil.

Sepertinya pencurian beberapa menit ini berjalan dengan lancar. Tetapi tidak demikian, ketika suara sirene dari kejauhan terdengar parau. Kelihatannya penjaga itu sudah menelfon polisi. Dengan sigap, ku langkahkan kaki ku untuk berlari. Menuju pintu belakang ke tempat teman-temanku sudah menunggu.

Naas terjadi, ketika kedua teman ku sudah masuk mobil. Aku tertinggal di belakang, aku tertangkap. Mau tak mau temanku meninggalkan diriku yang sudah tak berdaya tertangkap oleh polisi. Niatku membahagiakan Kate dan calon anakku pupus sudah.

Satu persatu dari bagian tubuhku di periksa dengan intensivenya. Kemudian yang tak terbayangkan oleh ku kini menjadi kenyataan. Tidur di balik jeruji besi, tanpa Kate di sampingku. Mungkin saat ini Kate sedang bersedih dengan apa yang terjadi padaku. Mungkin ini semua telah di gariskan takdir, untuk menjadi nasib yang harus ku terima.

Tak lama setelah penangkapanku, orang yang paling ku cinta menjengukku. Tapi tidak seperti biasa, ada yang aneh dari raut wajah Kate. Penuh kemarahan, mungkin itu yang bisa ku baca dari air mukanya. Teringat ketika saran Kate untuk tidak memilih jalan ini sebagai media pembahagia kami.

Mungkin hanya sesal yang ku dapat sekarang. Semuanya bertambah buruk, ketika aku mendengar kabar sesaat setelah menjenguk ku dari sel Kate mengalami kecelakaan parah. Nyawa Kate akhirnya tak terselamatkan lagi. Mungkin dengan izin dari kepolisian untuk menghadiri pemakaman Kate adalah tanda sesalku tidak mendengarkan apa yang harusnya ku dengarkan.

Perlahan, kate mulai memasuki bumi kembali. Meninggalkan ku dengan segala kenangan dan sesalku. Sisa dari masa hukumanku harus tetap di jalani. Hari-hari di sel berat ku lalui. Tapi ini harus kuterima dengan pasrah. Apa yang ku perbuat setidaknya harus ku pertanggung jawabkan hingga masa tahananku berakhir.

Dan ketika hari yang di tunggu telah tiba. Brad, anak ku dengan Kate yang berhasil selamat dari kecelakaan yang merenggut nyawa Kate datang untuk menjemputku. Mengajaknya ke makam ibunya, jalan untuk melepas rindu Brad kepada Kate. Sekarang yang harus aku lakukan adalah membesarkan Brad, mungkin itu yang di inginkan Kate saat ini disana.

Dengarkanlah apa yang seharusnya kamu dengar, karena perkataan itu tak akan bisa terulang. Ketika terjadi, semua penyesalan dan kesedihan takkan mampu menebusnya.



NB: Check Avenged Sevenfold Video Here

http://www.youtube.com/watch?v=jUkoL9RE72o&ob=av2e

Rabu, 24 Agustus 2011

Menunggu Sesuatu yang Tak Pasti

Menurut gue yang di sebut cinta itu adalah satu kata yang gampang di ucapkan, namun sulit di realisasikan. Satu kata yang bisa membuat orang tergila-gila akannya.

“Perkenalkan, nama gue Franz. Asal sekolah SMA Negeri xx Di Bogor”. Mungkin itu perkenalan singkat gue di depan kelas 3 sekolah baru gue. Mungkin gue anak baru di sekolah ini. Tapi tak sampai sehari temen gue udah hampir setengah kelas. Mungkin karena gue ganteng kali ya. Haha, narsis amat gue ya.

Ok, lupakan sejenak tentang kegantengan gue (masih narsis aja ya). Kisah gue berawal waktu gue genap 1 bulan jadi anak baru di sekolah itu. Yang namanya cinta itu memang tak bisa di tebak, kapan ia mau datang. Ketika gue mau sholat di musholla, gak sengaja gue ngeliat Vina. Panggilan akrab dari teman-temannya yang gue dengar.

Dari cerita temen-temen gue, Vina bisa di bilang primadona di kelasnya. Dia mungkin gak terlalu cantik, putih, tapi yang paling buat gue tertarik sama dia. Dia itu manis banget anaknya, mungkin kalo gue semut udah gue samperin terus gue gigit kali ya. Sayangnya gue bukan semut, cuman seorang anak baru yang tau diri dengan keadaan. Dari gosip-gosip juga, udah banyak kakak kelas yang deketin dia. Tapi rada ditolak semua. Ini cewek jual mahal atau gimana ya?

Mungkin yang namanya jodoh itu gak akan lari kemana ya. Dari awal gue ngeliat dia, ada aja hal yang bisa berhubungan sama dia. Waktu di toko buku, gue lagi nyari-nyari novel yang lagi best-seller. Eh, gak di sangka bisa-bisanya rebutan sama dia buat ngedapetin eksmplar terakhir. Karena gue cowok, ya gue ngalah lah sama cewek. Apalagi gue secret admirer nya si Vina. Apa pun bakal gue lakuin deh asal buat dia.

“Lo yakin gak mau ni novel?”. “Enggak, buat lo aja deh. Lo anak Ipa 1 kan?” Tanya gue. “Ya, gue anak Ipa 1. Kenalin, nama gue Vina”. “Gue Franz, anak Ipa 4”. “Yauda deh, gue cabut duluan ya”. “Eh, tunggu vin. Gue boleh minta no. hp lo gak? Siapa tau bisa jadi temen sms-an lo”. “Oh, ya. Ni 08xxxxxx. Malem lo sms ya. Sekarang gue mau bimbel dulu ya. Bye”.

Malemnya sesuai perkataan Vina, gue sms-in dia. Awalnya perkenalan biasa, lama-kelamaan kayaknya si Vina jadi curhat sama gue. Tentang cowoknya yang bisa di bilang acuh banget sama dia. Dalem hati, bodoh amat tuh cowok . Udah punya Vina malah di sia-siain. Ternyata Vina itu luarnya aja cuek-an, begitu kenal anaknya ramah banget. Semakin tertarik gue sama Vina.

Sekitar 1 minggu dari kejadian toko buku, gue ketemu lagi sama Vina sewaktu pesta ulang tahun temen SD gue. Ternyata temen gue adalah sepupu nya si Vina. Vina anggun banget malam itu. Mengenakan gaun merah dengan tambahan jilbabnya yang super ribet itu. Bikin jantung gue makin dag-dig-dug waktu ketemu dia. Akhirnya, gue samperin Vina di situ. “Anggun banget lo vin malem ini”. Mukanya tersipu malu. “Ah, biasa aja kali Franz. Sama siapa nih kesini?”. “Sendirian aja, lo sendiri?”. “Haha, senasib kita Franz”. Haha, yaudah. Gue balik duluan ya. Takut gak kebangun sekolah besok”. “OK Franz”. Mata Vina seperti memberikan suatu sinyal ke gue. Tapi gue masih malu ngungkapinnya.

Singkat cerita, 1 semester udah gue jalani di sekolah baru gue. Hubungan gue sama Vina makin deket. Sepulang sekolah ini gue udah tekad-in bakal nembak Vina hari ini. Jantung gue udah gak karuan bunyinya. Bel pulang sekolah akhirnya berdentang. Gue sms Vina nanyain di mana dia sekarang. Sms gue di bales, dia lagi sendirian di kelas. Akhirnya, gue samperin dia ke kelasnya. “Vin, ada sesuatu yang mau gue omongin sama lo”. “Penting gak Franz? Gue lagi sibuk mindahin tugas nih”. “Penting Vin, sebentar aja gue koq”. “Oh, yauda gih ngomong” ketus Vina.

“Kita kan udah sekitar 6 bulan deket Vin. Sejak pertama kali gue ngeliat lo, gue udah ada rasa sama lo. Cuman gue malu ngungkapinnya sama elo Vin. Baru sekarang gue berani. Dan yang mau gue bilang sekarang adalah, “Lo mau gak jadi pacar gue?”. Dengan tangan yang terus gemetaran. Vina tertawa dan berkata,” Haha. Kenapa lo Franz? Sampek gemetaran gitu. Biasa aja kali, sebenarnya gue juga ada rasa sama lo. Tapi gue nunggu saat-saat kayak gini Franz. Lo ngungkapin perasaan lo sama gue. Yaudah, mulai hari ini kita pacaran ya sayang”.

Kata-katanya buat gue hampir meledak kesenangan. “ Ya, sayang. Gue bakal jadi yang terbaik bagi kamu. Aku janji”. “Makasih sayang” senyum centil Vina sama gue. Akhirnya, gue bantu dia sampai selesai tugas & nganter dia pulang. Hari yang sangat menyenangkan bagi gue. Mungkin juga buat Vina.

Singkat waktu terus berlalu tanpa hambatan, waktu ujian akhir semakin dekat. Vina minta hubungan kami di hentikan sementara waktu. Gue lakuin apa aja buat Vina termasuk memberhentikan hubungan kami sementara waktu. Gue gak mau gara-gara gue, ujian Vina gagal.

Ketika semuanya terlewati dengan sukses, ada 1 hambatan yang sangat besar bagi hubungan kami. Orang tua Vina pindah tugas ke Italia, otomatis Vina akan kuliah di sana. Long distance relationship, permintaan terakhir gue sebelum Vina tak mengatakan ia/tidak untuk menjawab pertanyaan ku. Hari terakhir bersama Vina akhirnya tiba, dengan berat hati gue kasih senyuman terakhir gue ke Vina di bandara. Lambaian tangan terakhirnya yang takkan terlupa.

Sejak keberangkatannya, gue kehilangan contact Vina. Atau dia sudah mendapatkan pengganti gue. Tugas gue sekarang hanya menanti Vina balik lagi. Setidaknya itu yang bisa gue lakukan sekarang.

~Sekian~